Sejarah dan Asal Usul Permainan Sabung Ayam di Indonesia
Sabung ayam pada jaman dulu di Indonesia bukan sekedar sebuah permainan rakyat semata namun sudah menjadi budaya politik yang mempengaruhi perkembangan suatu dinasti kerajaan.
Adu Ayam Jago atau umum dimaksud sabung ayam adalah permainan yang sudah dilakukan masyarakat di Indonesia sejak jaman dahulu kala. Permainan ini adalah pertandingan antara dua ayam jago yang memiliki taji serta terkadang taji ayam jago ditambahkan dan terbuat dari logam yang runcing menyerupai pisau. Permainan sabung ayam di Indonesia nyatanya bukan sekedar sebuah permainan hiburan semata untuk masyarakat, namun merupakan satu cerita kehidupan baik sosial, budaya ataupun politik.
Tentang Legenda Cerita Ayam Cindelaras Yang Sakti
Permainan Sabung Ayam di pulau Jawa datang dari folklore (narasi rakyat) Cindelaras yang mempunyai ayam sakti serta diundang oleh raja Jenggala, Raden Putra untuk mengadu ayam. Ayam Cindelaras diadu dengan ayam Raden Putra dengan satu syarat, bila ayam Cindelaras kalah maka ia bersedia kepalanya dipancung, namun bila ayamnya menang maka setengah kekayaan Raden Putra jadi punya Cindelaras.
Dua ekor ayam itu bertanding dengan gagah berani. Namun kurun waktu singkat, ayam Cindelaras berhasil mengalahkan ayam sang Raja. Beberapa pemirsa bersorak sorai mengelu-elukan Cindelaras dan ayamnya. Pada akhirnya raja mengaku kehebatan ayam Cindelaras serta mengetahui kalau Cindelaras tidak lain yaitu putranya sendiri yang lahir dari permaisurinya yang terbuang karena sifat iri dan dengki sang selir.
Asal Usul Sabung Ayam di Bali Atau Biasa Disebut Dengan Tajen Bali
Sedang di Bali permainan sabung ayam biasa disebut Tajen. Tajen berasal-usul dari tabuh rah, salah satu yadnya (upacara) dalam orang-orang Hindu di Bali. Maksudnya mulia, yaitu mengharmoniskan hubungan manusia dengan bhuana agung. Yadnya ini runtutan dari upacara yang sarananya memakai binatang kurban, seperti ayam, babi, itik, kerbau, serta beragam jenis hewan peliharaan lain.
Persembahan itu dilaksanakan dengan cara nyambleh (leher kurban dipotong sesudah dimanterai). Sebelumnya juga dilakukan ngider serta perang sata dengan peralatan kemiri, telur, serta kelapa. Perang sata yaitu pertarungan ayam dalam rangkaian kurban suci yang dikerjakan tiga partai (telung perahatan), yang melambangkan penciptaan, pemeliharaan, serta pemusnahan dunia. Perang sata adalah lambang perjuangan hidup.
Kebiasaan ini telah lama ada, bahkan sejak jaman Majapahit. Waktu itu menggunakan arti menetak gulu ayam. Pada akhirnya tabuh rah merembet ke Bali yang berawal dari pelarian beberapa orang Majapahit, sekitaran tahun 1200.
Sama dengan beragam kegiatan lain yang dikerjakan orang-orang Bali dalam melakukan ritual, terutama yang terkait dengan penguasa jagad, tabuh rahmempunyai dasar yang bertumpu pada dasar sastra.
Tabuh rah yang sering diadakan dalam rangkaian upacara Butha Yad-nya juga banyak dimaksud dalam beragam lontar. Umpamanya, dalam lontar Siwa Tattwapurana yang diantaranya mengatakan, dalam tilem kesanga (waktu bulan sekalipun tidak terlihat pada bulan kesembilan penanggalan Bali).
Bathara Siwa membuat yoga, waktu itu keharusan manusia di bumi berikan persembahan, lalu diselenggarakan pertarungan ayam serta dilaksanakan Nyepi sehari. Yang di beri kurban yaitu Sang Dasa Kala Bumi, karna bila tidak, celakalah manusia di bumi ini.